Keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk menghapus sebagian besar bantuan pendanaan melalui USAID telah menyebabkan sejumlah negara, termasuk Malawi, menghadapi kesulitan. Malawi, yang tengah mengalami krisis ekonomi yang serius dalam beberapa tahun terakhir, memiliki populasi sekitar 21 juta jiwa dan kini menghadapi masalah utang nasional yang meningkat serta tingginya angka kemiskinan, dengan sekitar 14 juta warganya hidup di bawah garis kemiskinan.
Menurut laporan Bank Dunia, Malawi telah bergantung pada bantuan luar negeri selama beberapa dekade. Oleh karena itu, pengurangan dana dari USAID telah memicu krisis yang memperburuk ketidakstabilan ekonomi, terutama menjelang pemilihan umum yang dijadwalkan pada bulan September.
"Sejak tahun 2013, negara ini telah kehilangan sekitar lima persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya, setara dengan US$ 545 juta (Rp 9,1 triliun), akibat berkurangnya bantuan dari donor," ungkap Agness Nyirongo, pejabat tata kelola ekonomi di Centre for Social Concern, sebuah organisasi nonpemerintah, kepada AFP.
"Pengurangan bantuan ini memaksa negara untuk mengutamakan pendapatan lokal yang terbatas untuk membayar utang, yang berdampak pada penyediaan layanan publik," tambah Willy Kambwandira dari Centre for Social Accountability and Transparency.
Malawi termasuk dalam enam negara yang memiliki tingkat utang yang tidak berkelanjutan, menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Februari 2025. Utang publik meningkat dari 48% menjadi 93% dari PDB antara Maret 2020 dan Maret 2024.
"Tekanan fiskal yang menyebabkan peningkatan ini meliputi pengeluaran untuk penanganan pandemi Covid-19, dampak dari tiga siklon, inflasi yang tinggi, serta fluktuasi nilai tukar mata uang asing," jelasnya.
Defisit yang Tak Berujung
Bertha Chikadza, Presiden Asosiasi Ekonomi Malawi, menyatakan bahwa kelemahan struktural dan pengelolaan fiskal yang buruk telah berkontribusi pada kesulitan ekonomi yang dialami Malawi. Sebagai contoh, tembakau yang menyumbang 60% dari total ekspor negara ini mengalami penurunan harga, yang berdampak negatif pada pendapatan devisa.
Negara tersebut menghadapi defisit perdagangan yang berkelanjutan akibat minimnya diversifikasi dalam pendapatan ekspor, ungkapnya.
"Pembayaran utang menyerap sekitar setengah dari pendapatan domestik, sehingga hanya menyisakan sedikit dana untuk sektor-sektor penting seperti kesehatan dan pendidikan."
Dengan inflasi mencapai 28,5% tahun ini yang menyebabkan lonjakan harga, masyarakat Malawi melakukan protes di berbagai kota. Situasi ini diperburuk oleh ketidakpopuleran langkah-langkah pemerintah dalam menangani masalah, termasuk pemotongan anggaran publik dan peningkatan pajak.
Presiden Lazarus Chakwera, yang akan mencalonkan diri kembali dalam pemilihan pada bulan September, mengulangi permohonan untuk keringanan utang di Majelis Umum PBB tahun lalu, agar negaranya dan negara-negara Afrika lainnya yang menghadapi tantangan serupa mendapatkan sedikit 'ruang bernapas'. Isu ini menjadi fokus utama tahun ini bagi kelompok ekonomi terkemuka G20 di bawah kepemimpinan Afrika Selatan, yang merupakan negara Afrika pertama yang memegang posisi tersebut.
"Solusi bukanlah dengan menghapus utang. Negara-negara berkembang seperti Malawi memerlukan lebih banyak pinjaman untuk mendukung investasi, terutama mengingat tren demografi," kata David McNair, direktur eksekutif kebijakan global di organisasi nirlaba One Campaign.
"Namun, biaya utang mereka terlalu tinggi. Saya mendesak G20 untuk meninjau kembali penilaian lembaga pemeringkat mengenai risiko utang dan mencari cara untuk membuka akses modal swasta dengan biaya rendah."
Berita Terkait
Kekacauan Tarif Trump, Indonesia Kalah Dari Malaysia-Menjadi Lokasi Sampah
404
Kekacauan Tarif Trump, Indonesia Kalah Dari Malaysia-Menjadi Lokasi Sampah
100 Hari Donald Trump: Ekstrem Dan Penuh Kebencian!
404
Kekacauan Tarif Trump, Indonesia Kalah Dari Malaysia-Menjadi Lokasi Sampah
100 Hari Donald Trump: Ekstrem Dan Penuh Kebencian!